Jika Perusahaan Merumahkan Karyawan Tanpa Batas Waktu
Sebelumnya, kami perlu menjelaskan bahwa istilah “dirumahkan” tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
Mengenai istilah “dirumahkan” ini, kita dapat merujuk kepada Butir f Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja Kepada Pimpinan Perusahaan di Seluruh
Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal (“SE Menaker 907/2004”) yang menggolongkan “meliburkan
atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu”
sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan
pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, istilah ini dapat juga kita temukan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (“SE Menaker 5/1998”).
1) Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya dalam artikel Status Hukum Karyawan yang Dirumahkan, merumahkan
pekerja sama dengan meliburkan/membebaskan pekerja untuk tidak melakukan
pekerjaan sampai dengan waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Hal mana
dilakukan perusahaan sebagai langkah awal untuk mengurangi pengeluaran
perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan/produksi yang dilakukan
perusahaan sehingga tidak memerlukan tenaga kerja untuk sementara waktu.
Jadi, karena UU Ketenagakerjaan belum mengatur mengenai tindakan “merumahkan”, maka mengacu pada SE Menaker 907/2004 dan SE Menaker 5/1998, tindakan merumahkan Anda dan pekerja lain yang dilakukan oleh perusahaan merupakan salah satu upaya yang dapat dibenarkan, dengan catatan, harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam dua SE Menaker tersebut.
2) Mengenai
kerugian materiil maupun moril yang dialami oleh Anda dan pekerja lain,
maka hal tersebut bisa jadi berkaitan dengan tidak dipenuhinya hak
pekerja selama dirumahkan. Salah satunya berkaitan dengan pembayaran
upah oleh pengusaha kepada pekerja.
Perlu diketahui, berdasarkan SE Menaker 907/2004 dan SE Menaker 5/1998 tersebut,
maksud dari pengusaha merumahkan pekerjanya bisa mengarah ke dua hal,
yakni: mengarah ke terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) atau
bukan mengarah ke terjadinya PHK.
Namun,
menurut kami, apapun maksud dari tindakan pengusaha merumahkan
pekerjanya, pengusaha tetap berkewajiban membayarkan segala upah dan
tunjangan kepada pekerjanya. Baik para pekerja yang dirumahkan dalam
rangka mencegah PHK maupun bukan mengarah pada terjadinya PHK.
Dalam hal tindakan pengusaha merumahkan pekerja bukan mengarah pada terjadinya PHK, merujuk pada SE Menaker 5/1998:
1. pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama
2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.
Demikian
pula dengan Anda dan pekerja lainnya yang dirumahkan bukan ke arah PHK
berhak atas upah secara penuh (atau pengusaha tidak membayar upah secara
penuh dalam hal telah dirundingkan sebelumnya).
Di lain pihak, dalam hal tindakan pengusaha merumahkan pekerja sebagai tindakan pencegahan PHK, kita merujuk pada SE Menaker 907/2004 dan UU Ketenagakerjaan. Menurut SE tersebut, meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu merupakan salah satu upaya yang dilakukan sebelum adanya PHK.
Merujuk pada ketentuan Pasal 151 ayat (3) jo. Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan,
maka selama pekerja belum di PHK atau selama belum ada penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (dalam hal antara
pengusaha dan pekerja tidak tercapai kesepakatan mengenai PHK), maka
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan berbunyi:
(1) Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja.
(2) Dalam
hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Kemudian Pasal 155 UU Ketenagakerjaan berbunyi:
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Jadi, dari
kedua ketentuan tersebut kita dapat mengetahui bahwa status
dirumahkannya pekerja berarti belum terputusnya hubungan kerja antara
buruh dan pengusaha selama belum memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dalam keadaan
seperti itu, baik pengusaha maupun pekerja wajib melaksanakan
kewajibannya masing-masing sesuai perjanjian yang disepakati, yakni
pekerja melakukan pekerjaan yang diperintah oleh pengusaha dan pengusaha
wajib membayar upah yang diperjanjikan.
Hal ini juga sesuai dengan Pasal 93 ayat (2) jo. Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha
wajib membayar upah apabilapekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan
yang telah dijanjikan tetapi pengusahatidak mempekerjakannya, baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yangseharusnya dapat dihindari
pengusaha. Dalam hal ini, pengusaha tidak mempekerjakan pekerja karena ada faktor-faktor dari pengusaha (perubahan kontrak kerja sama).
Ancaman
pidana bagi pengusaha yang melanggar kewajiban tersebut adalah
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
Apabila
Anda dan pekerja lain merasa dirugikan oleh karena upah tidak dibayar
selama dirumahkan, maka mengenai langkah hukum yang dapat dilakukan kita berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
Sejak adanya
UU PPHI, upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan
industrial akan dilakukan secara bipartit terlebih dulu. Dalam hal ini,
Anda dapat meminta upah penuh kepada pengusaha secara baik-baik. Bila
upaya bipartit gagal, pekerja bisa memilih upaya mediasi atau konsiliasi
yang ditawarkan di instansi ketenagakerjaan setempat. Apabila
pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai
kesepakatan, dapat membawa perkaranya ke pengadilan hubungan industrial atas dasar perselisihan hak.
Menjawab pertanyaan Anda, gugatan
secara perdata umum tidak bisa dilakukan karena sudah ada ketentuan
yang lebih khusus mengaturnya, yakni UU PPHI. Akan tetapi, tuntutan
pidana masih mungkin dilakukan atas dasar tidak dibayarkannya upah
berdasarkan Pasal 93 ayat (2) Jo. Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
yang kami sebutkan di atas.
3) Pada
dasarnya, baik UU Ketenagakerjaan maupun kedua SE Menaker yang kami
sebutkan tidak mengatur mengenai batasan waktu dirumahkannya pekerja. Apabila
perusahaan merumahkan Anda dan pekerja lain tanpa batasan waktu yang
jelas dan membuat Anda dan pekerja lain merasa tidak jelas statusnya,
maka Anda dan pekerja lain dapat meminta perusahaan untuk melakukan PHKterhadap Anda dan pekerja lain.
Berdasarkan Pasal 169 huruf d UU Ketenagakerjaan, pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak melakukan
kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh. Ini dalam hal
pengusaha melakukan tindakan merumahkan pekerjanya akan tetapi pengusaha
tidak membayar upah pekerja sebagaimana telah dijelaskan di atas. Oleh
karena itu, Anda dan pekerja lain dapat mengajukan permohonan PHK atas
dasar alasan tersebut.
Selain itu, berdasarkan Pasal 169 huruf c UU Ketenagakerjaan Anda dan pekerja lain juga
dapat mengajukan permohonan PHK dalam hal pengusaha tidak membayar upah
tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih. Ini dalam hal Anda dan pekerja lain telah
dirumahkan dan “digantung” dalam jangka waktu tersebut, dan tidak
diberikan upah.
Pesangon yang didapat oleh pekerja meminta di-PHK dengan alasan di atas berdasarkan Pasal 169 ayat (2) UU Ketenagakerjaan adalah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Keterangan lebih lanjut mengenai bunyi masing-masing pasal yang kami sebutkan di atas dapat Anda simak dalam artikel Rumus Perhitungan Pesangon dan Masalah PHK Karena Efisiensi.
Dasar hukum:
3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja
4. Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinan perusahaan di seluruh
Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal
0 comments:
Post a Comment